Saya lahir prematur di bulan Mei 1975 dan menghabiskan dua bulan pertama hidup saya di dalam inkubator, keluar dari kehangatan rahim ibuku dan juga keluar dari pelukan hangat semua orang.
Pada masa itu, bayi prematur tidak boleh disentuh maupun dipegang. Hasil dari isolasi selama delapan minggu pertama hidup saya, masa kanak-kanak saya dipenuhi rasa takut yang luar biasa akan ditolak dan diabaikan, kuatir bahwa setiap saat orangtua saya akan meninggalkan saya.
Meskipun saya tidak dapat mengingat dua bulan itu, namun masa itu telah menanamkan duri selama sisa hidup saya; saya melihat seluruh kehidupan saya melalui saringan ini. Lagu dan cerita anak-anak justru membawa kenangan berbeda yang menakutkan bagi saya. Saya selalu menekankan pada topik diabaikan, dan saya membawa perasaan takut itu sampai dewasa. Sepanjang ingatan saya, saya bergumul dengan harga diri. Sangat sulit bagi saya untuk percaya bahwa saya sanggup menyelesaikan sesuatu atau menjadi seseorang yang dapat disukai orang lain.
Selama masa muda saya, keluarga saya rajin ke gereja, melayani di berbagai komite dan terlibat dalam paduan suara. Saya selalu percaya kepada Tuhan, namun masa-masa awal kehidupan saya itu memberi pengaruh pada kehidupan saya sehari-hari. Saya selalu berseru kepada Tuhan dalam masa-masa sulit, bertanya-tanya mengapa IA tidak menyelamatkan saya dari kehidupan sulit yang harus saya jalani.
Memasuki sekolah menengah atas, tidak banyak ketrampilan hidup yang saya miliki. Orangtua saya bercerai saat saya berusia 15 tahun; ayah memenangkan hak asuh atas saya dan kakak perempuan saya. Saya tidak mengerti bagaimana harus menghadapi emosi saya dengan benar, yang bertumbuh menjadi penyimpangan perilaku. Jadi saya menyakiti diri saya sendiri. Saya mengiris-ngiris tubuh dengan benda tajam, dan menghantam kepala ke dinding maupun lantai serta meninju dinding atau lantai dengan kekuatan penuh. Saya mulai mengalami penyimpangan makan di usia 14 tahun, dan di akhir masa SMA saya mengalami sesak nafas dan penyimpangan makan.
Saya mulai bereksperimen secara seksual dengan para gadis di usia muda. Hal ini terus berlanjut sampai sebagai siswa SMA, saya menyadari bahwa saya tertarik secara fisik kepada sahabat saya. Sebelum hubungan kami terjadi secara fisik, secara emosional memang sudah tidak sehat. Ketika kami mulai menunjukkan ketertarikan secara fisik, saya benar-benar bergantung padanya untuk membuat diri saya berharga.
Sekitar seminggu setelah kami berhubungan, secara diam-diam saya mulai mempelajari mengenai homoseksualitas di dalam buku kesehatan. Buku tersebut mengatakan jika Anda tertarik pada seseorang yang berjenis kelamin sama, maka Anda adalah seorang gay. Saya ingat saat itu saya langsung berpikir, “Ini dia, sangat jelas bahwa saya seorang homoseksual.”
Musim panas setelah saya lulus SMA, saya berada di kedai kopi membicarakan novel yang sedang saya baca. Sebuah karakter dalam novel tersebut menggunakan ayat-ayat Alkitab sebagai pembenaran untuk berperilaku buruk kepada istrinya. Seorang pria di seberang meja kami yang mendengar kata “Alkitab” bertanya apakah kami tertarik untuk pergi ke gereja bersamanya. Saya telah menghadiri berbagai jenis gereja sepanjang hidup saya, jadi saya menerima undangannya.
Saya mulai bertemu secara teratur dengan pacar dari pria ini yang dengan cepat mengatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa dan akan membawa saya ke neraka. Dia akan berdoa dengan saya setiap hari. Dan setiap malam saya akan berdoa sambil menangis sampai tertidur. “Tuhan, ubahkah saya! Mengapa Engkau menjadikan saya gay kalau itu artinya saya harus pergi ke neraka?” Di dalam hati saya selalu bertanya-tanya, “Benarkah Tuhan ingin saya terpisah dari-Nya untuk selama-lamanya?”
Gereja yang saya hadiri ini tidak membagikan harapan untuk berubah seperti yang ditawarkan Injil. Sikap mereka adalah saya yang harus berubah terlebih dahulu... maka Tuhan akan menerima saya. Saya akhirnya berhasil lolos dari wanita dan juga gereja ini. Saya telah meminta Tuhan untuk mengubah saya, tapi Dia tidak melakukannya. Jadi sayapun melanjutkan identitas lesbian saya.
Setelah 3,5 tahun bersama, saya dan pacar pertama saya putus. Saya kemudian bertemu dengan wanita yang lebih tua dan sudah menikah, saya memutuskan keluar dari universitas dan pindah ke negara bagian lain untuk tinggal bersamanya dan juga dengan suaminya. Untuk beberapa alasan, suaminya berkata bukan suatu hal yang mengganggunya saat mengetahui bahwa istrinya biseksual. Dia juga mengatakan kepindahan saya ke rumahnya tidak akan mengganggunya karena dengan melakukannya saya dapat memberikan kepuasan lain kepada istrinya yang tidak dapat dipenuhinya. Wanita itu dan saya kemudian mengadakan upacara pernikahan dan sejak saat itu, ia memperkenalkan dirinya sebagai ‘istri’ saya.
Saya tinggal dengan pasangan ini hampir selama 2,5 tahun. Dan selama waktu itu, saya semakin terlibat dengan komunitas gay. Saya memperjuangkan hak-hak gay, mengunjungi bar-bar gay, dan menikmati identitas saya sebagai seorang lesbian. Saya bahkan bertunangan dengan seorang pria gay. Kami memutuskan untuk menikah dan tinggal bersama setelah saya selesai kuliah, tapi saya juga terus berhubungan dengan ‘istri’ saya. Hal ini sangat masuk akal bagi saya waktu itu karena saya tahu ‘istri’ saya tidak akan pernah meninggalkan suaminya, dan saya benar-benar tidak ingin sendiri. ‘Istri’ saya dan saya akhirnya memutuskan akan jauh lebih baik jika saya melanjutkan sekolah saya, jadi saya pindah ke Boston untuk memasuki sekolah musik bergengsi, sekolah yang sama dimana ‘istri’ saya juga lulusan sekolah tersebut.
Meskipun saya tinggal di lingkungan dimana seksualitas saya diakui, hidup saya jauh dari bahagia.
Hubungan saya dengan ‘istri’ saya semakin memburuk sampai akhirnya ia mengakhiri hubungan kami 10 bulan setelah saya pindah. Penyimpangan makan saya semakin tidak terkendali. Saya terperangkap ke dalam ketakutan dan kesendirian.
Anehnya, selama waktu itu saya mulai belajar banyak tentang Yesus. Orang-orang Kristen sepertinya menjadi orang-orang yang selalu masuk ke dalam kehidupan saya untuk berbagi dan berdoa untuk saya. Mereka tidak pernah menunjukkan jari telunjuk mereka kepada dosa saya dan berkata tidak seharusnya saya menjadi lesbian. Mereka hanya menunjuk pada Yesus. Seperti orang lainnya, saya adalah orang berdoa yang membutuhkan Yesus dalam hidup saya. Pilihan seksual saya hanya satu dari sekian banyak indikasi akan adanya kebutuhan ini.
Sangat menakjubkan saat melihat ke belakang dan menyaksikan bagaimana Tuhan menumbuhkan hati-Nya di dalam saya, dan saya benar-benar menyadarinya pada saat itu. Saya akhirnya memiliki kekuatan untuk berbalik kepada Tuhan dan mencari bantuan. Saya selama ini berpaling dari-Nya karena saya ingin tetap sakit sehingga saya tidak perlu menghadapi kenyataan. Kehadiran beberapa orang Kristen sangat berpengaruh dalam hidup saya. Saya berpikir doa-doa mereka terkadang benar-benar menyentuh saya. Meskipun saya belum bisa berdoa untuk diri sendiri, kenyataan bahwa saya menganggap bahwa kehidupan lesbian itu adalah sebuah pilihan merupakan sebuah langkah besar yang saya ambil.
Keadaan semakin memburuk sampai saya akhirnya berada di ujung tanduk. Saya tahu saya membutuhkan bantuan dengan penyimpangan makan saya, atau saya akan mati. Tapi saya merasa telah mencoba semua cara dan tidak ada yang berhasil. Saya menelepon seorang teman yang juga adalah seorang pecandu alkohol dan bulimia untuk mendapatkan saran, dan ia bertanya apakah saya pernah mencoba berdoa untuk membantu mengatasi penyimpangan makan saya. Saya pikir itu adalah satu-satunya hal yang belum pernah saya coba – jadi sayapun mulai berdoa.
Suatu malam, saya mendengarkan sebuah lagu yang menceritakan tentang seorang teman yang akan selalu hadir dalam setiap tangisan kita, yang rela memberikan segalanya kepada saya. Melalui teman ini, saya dapat memiliki kehidupan yang baru dan awal yang baru. Teman itu adalah Yesus – Anak Allah, yang mati di kayu salib untuk menanggung dosa saya, rasa sakit saya, dan menjadikan saya berharga. Yesus mati agar saya tidak perlu lagi merasa malu. Meskipun sangat susah bagi saya untuk memahami bahwa pengorbanan kasih yang sebesar itu mungkin adanya, jauh di dalam hati saya tahu bahwa itulah kebenarannya dan kasih inilah yang saya cari selama ini.
Saya ingat bagaimana saya menangis tak terkendali karena sakit di dalam hati saya begitu besar, ada kerinduang yang besar untuk mengenal teman yang dinyanyikan pria ini. Saya berseru kepada Tuhan dan berkata, “Saya ingin memiliki apa yang dimilikinya!”. Tuhan, dalam belas kasihannya yang besar, menemui saya secara pribadi pada bulan Januari 1999. (bersambung...)
http://www.jawaban.com/index.php/relationship/detail/id/188/news/110303140330/limit/0/Lepas-Dari-Hubungan-Sejenis-1.html
No comments:
Post a Comment